KETERANGAN FOTO: Bahagianya punya anak. Foto ini adalah foto anak kedua penulis yang berhasil meraih juara pada lomba mewarnai tingkat Sekolah Taman Kanak-Kanak di Kota Padangsidimpuan.
Fenomena sosial saat ini, terutama wanita tanpa anak (childfree) menjadi trending topic di ruang virtual. Apalagi childfree ini dikomentari oleh figur publik, seperti para artis. Mereka, para artis, menjadi motivasi bagi generasi muda dalam bertingkah laku, dan model serta gaya fashion. Hal ini dampak dari imperialisme budaya yang terus-menerus dipropagandakan oleh media.
Bahaya childfree bila terus dipropagandakan secara intens,
apalagi melalui media, tindakan ini nantinya akan berdampak serempak terhadap
generasi muda. Dalam teori komunikasi, suatu pesan yang disampaikan
terus-menerus, berkesinambungan, dan instens maka nanti akan dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Maksudnya, childfree itulah realitasnya. Padahal, childfree lahir
dari propaganda yang salah dan merusak fitrah manusia.
Fenomena childfree dapat dipahami dalam dua gerakan sosial
berikut. Pertama, patut diduga bahwa childfree sebuah gerakan aktivis gender
(feminism) untuk mendukung legalisasi pernikahan sejenis. Asumsinya, kelompok
ini beranggapan bahwa membangun rumah tangga bukan untuk melahirkan anak
melainkan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan seks.
Nancy J. Mezey (2013) pernah menulis terbitan Springer, menjelaskan
bagaimana lesbian dan gay mengambil keputusan untuk memilih menjadi orang tua
(punya anak) atau childfree (tidak punya anak). Menurut Nancy J. Mezey, mereka,
lesbi dan gay, memiliki pertimbangan pribadi, jaringan pendukung, karier, dan
hubungan intim pasangan. Berdasarkan riset Nancy J. Mezey tersebut dapat
dipahami bahwa alasan-alasan duniawi ini tidak sesuai dengan syariat, yang mana
tujuan pernikahan itu salah satunya untuk melanjutkan keturunan.
Kedua, childfree juga merupakan gerakan yang mendukung
gerakan pergaulan bebas, antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini menghindari
melahirkan anak dengan alasan-alasan duniawi, seperti karier dan kecantikan.
Namun aneh, kelompok ini menikmati “hubungan suami-istri” tetapi tidak
menginginkan lahirnya anak. Memang, konsekuensi menikah adalah punya anak
kecuali kondisi kesehatan tertentu yang tidak mengizinkannya. Alasan ini misal
istri punya penyakit yang mengancam nyawanya jika mengandung dan melahirkan.
Menarik riset Marsha D. Somers yang dipublish di JSTOR
(1993) menemukan bahwa 127 pasangan tanpa anak menyadari bahwa mereka dipandang
negatif oleh kerabat dan teman. Salah satu temuan Somers bahwa keberadaan anak
berkaitan erat dengan kepuasan sebuah pernikahan. Hal ini tentu memperkuat
gagasan bahwa anak-anak dan istri dapat menyenangkan hati (qurrata a’yun).
Dengan begitu, menikah dan punya anak adalah untuk melengkapi kebahagiaan
manusia.
Dalam ilmu Pengembangan Masyarakat Islam, keberadaan anak
dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, anak sebagai Amanah dari Allah. Amanah
mesti dijaga sebagaimana yang diamanatkan. Amanah adalah kewajiban yang harus
dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Beberapa bentuk kelalaian kita terhadap
hak anak, yang mengakibatkan penelantaran anak, stunting, putus sekolah, gizi
buruk, perdagangan anak, dan bullying. Masalah tersebut harus ditangani bersama
baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Aktivis sosial (social worker,
community worker, PMI) dapat menjadi motor penggerak untuk melakukan penanganan
terhadap masalah yang korbannya anak-anak. Perhatian yang serius terhadap
kesejahteraan anak adalah wujud dari penunaian terhadap amanat tersebut.
Anak sebagai Sumber Amal. Dalam pandangan Islam, orang tua yang
merawat dan mendidik anak secara ikhlas maka dibalas pahala oleh Allah.
Pemahaman ini menempatkan anak pada posisi bahwa anak sebagai sumber amal dan
kebaikan bagi kedua orang tuanya. Namun lebih besar lagi keuntungan yang
diterima oleh orang tua yang berhasil menjadikan anak-anak mereka sebagai anak
yang sholeh/sholehah.
Anak yang sholeh dan sholehah mendoakan kedua orang tuanya.
Apa bila manusia mati maka terputuslah segala sumber amal, kecuali shadaqah
jariyyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh. Hal ini berkaitan
dengan keyakinan kita sebagai umat Islam.
Berdasarkan pada teori zoon politicon bahwa manusia (orang
tua / ayah dan ibu) adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup sendirian. Kita
memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhan kita. Dalam hal
ini, anak tentu dapat membantu orang tuanya ketika mereka membutuhkan. Ya,
mungkin konteks non Muslim dan ateis yang tidak didasari pada ideologi agama
apapun. Keberadaan anak tetap saja mendatangkan kebaikan. Anak dapat merawat orang
tua ketika sakit. Pada saat lansia, manusia memerlukan pertolongan orang lain.
Bahkan untuk mengurus urusannya sendiri, lansia tentu sudah tidak cekaten lagi.
Anak sebagai Pewaris. Anak sebagai pewaris sudah dikenal
luas di kalangan umat Islam. Dalam hal ini, anak pewaris harta warisan dari
orang tuanya. Namun, pandangan Islamic community development worker (pekerja pengembangan
masyarakat Islam) mengasumsikan bahwa anak itu pewaris kehidupan di bumi. Anak
menjadi generasi yang akan melaksanakan pembangunan bumi secara berkelanjutan (world
sustainable development). Bagaimana bila pasokan anak lebih kecil, tentu
kemampuan mereka untuk mengelola bumi ini pun terbatas, kekurangan tenaga SDM.
No comments:
Post a Comment