Jangan Latah, Childfree bukan Budaya Muslim - Icol Dianto

Featured Post

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN KOMUNIKASI DAN DAKWAH

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN KOMUNIKASI DAN DAKWAH 1.     Membuat proposal tesis. Tugas mata kuliah ini adalah menulis proposa...

Jangan Latah, Childfree bukan Budaya Muslim

Share This








KETERANGAN FOTO: Bahagianya punya anak. Foto ini adalah foto anak kedua penulis yang berhasil meraih juara pada lomba mewarnai tingkat Sekolah Taman Kanak-Kanak di Kota Padangsidimpuan.

Fenomena sosial saat ini, terutama wanita tanpa anak (childfree) menjadi trending topic di ruang virtual. Apalagi childfree ini dikomentari oleh figur publik, seperti para artis. Mereka, para artis, menjadi motivasi bagi generasi muda dalam bertingkah laku, dan model serta gaya fashion. Hal ini dampak dari imperialisme budaya yang terus-menerus dipropagandakan oleh media.

Bahaya childfree bila terus dipropagandakan secara intens, apalagi melalui media, tindakan ini nantinya akan berdampak serempak terhadap generasi muda. Dalam teori komunikasi, suatu pesan yang disampaikan terus-menerus, berkesinambungan, dan instens maka nanti akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Maksudnya, childfree itulah realitasnya. Padahal, childfree lahir dari propaganda yang salah dan merusak fitrah manusia.

Fenomena childfree dapat dipahami dalam dua gerakan sosial berikut. Pertama, patut diduga bahwa childfree sebuah gerakan aktivis gender (feminism) untuk mendukung legalisasi pernikahan sejenis. Asumsinya, kelompok ini beranggapan bahwa membangun rumah tangga bukan untuk melahirkan anak melainkan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan seks.

Nancy J. Mezey (2013) pernah menulis terbitan Springer, menjelaskan bagaimana lesbian dan gay mengambil keputusan untuk memilih menjadi orang tua (punya anak) atau childfree (tidak punya anak). Menurut Nancy J. Mezey, mereka, lesbi dan gay, memiliki pertimbangan pribadi, jaringan pendukung, karier, dan hubungan intim pasangan. Berdasarkan riset Nancy J. Mezey tersebut dapat dipahami bahwa alasan-alasan duniawi ini tidak sesuai dengan syariat, yang mana tujuan pernikahan itu salah satunya untuk melanjutkan keturunan.

Kedua, childfree juga merupakan gerakan yang mendukung gerakan pergaulan bebas, antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini menghindari melahirkan anak dengan alasan-alasan duniawi, seperti karier dan kecantikan. Namun aneh, kelompok ini menikmati “hubungan suami-istri” tetapi tidak menginginkan lahirnya anak. Memang, konsekuensi menikah adalah punya anak kecuali kondisi kesehatan tertentu yang tidak mengizinkannya. Alasan ini misal istri punya penyakit yang mengancam nyawanya jika mengandung dan melahirkan.

Menarik riset Marsha D. Somers yang dipublish di JSTOR (1993) menemukan bahwa 127 pasangan tanpa anak menyadari bahwa mereka dipandang negatif oleh kerabat dan teman. Salah satu temuan Somers bahwa keberadaan anak berkaitan erat dengan kepuasan sebuah pernikahan. Hal ini tentu memperkuat gagasan bahwa anak-anak dan istri dapat menyenangkan hati (qurrata a’yun). Dengan begitu, menikah dan punya anak adalah untuk melengkapi kebahagiaan manusia.

Dalam ilmu Pengembangan Masyarakat Islam, keberadaan anak dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, anak sebagai Amanah dari Allah. Amanah mesti dijaga sebagaimana yang diamanatkan. Amanah adalah kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Beberapa bentuk kelalaian kita terhadap hak anak, yang mengakibatkan penelantaran anak, stunting, putus sekolah, gizi buruk, perdagangan anak, dan bullying. Masalah tersebut harus ditangani bersama baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Aktivis sosial (social worker, community worker, PMI) dapat menjadi motor penggerak untuk melakukan penanganan terhadap masalah yang korbannya anak-anak. Perhatian yang serius terhadap kesejahteraan anak adalah wujud dari penunaian terhadap amanat tersebut.

Anak sebagai Sumber Amal. Dalam pandangan Islam, orang tua yang merawat dan mendidik anak secara ikhlas maka dibalas pahala oleh Allah. Pemahaman ini menempatkan anak pada posisi bahwa anak sebagai sumber amal dan kebaikan bagi kedua orang tuanya. Namun lebih besar lagi keuntungan yang diterima oleh orang tua yang berhasil menjadikan anak-anak mereka sebagai anak yang sholeh/sholehah.

Anak yang sholeh dan sholehah mendoakan kedua orang tuanya. Apa bila manusia mati maka terputuslah segala sumber amal, kecuali shadaqah jariyyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh. Hal ini berkaitan dengan keyakinan kita sebagai umat Islam.

Berdasarkan pada teori zoon politicon bahwa manusia (orang tua / ayah dan ibu) adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup sendirian. Kita memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhan kita. Dalam hal ini, anak tentu dapat membantu orang tuanya ketika mereka membutuhkan. Ya, mungkin konteks non Muslim dan ateis yang tidak didasari pada ideologi agama apapun. Keberadaan anak tetap saja mendatangkan kebaikan. Anak dapat merawat orang tua ketika sakit. Pada saat lansia, manusia memerlukan pertolongan orang lain. Bahkan untuk mengurus urusannya sendiri, lansia tentu sudah tidak cekaten lagi.

Anak sebagai Pewaris. Anak sebagai pewaris sudah dikenal luas di kalangan umat Islam. Dalam hal ini, anak pewaris harta warisan dari orang tuanya. Namun, pandangan Islamic community development worker (pekerja pengembangan masyarakat Islam) mengasumsikan bahwa anak itu pewaris kehidupan di bumi. Anak menjadi generasi yang akan melaksanakan pembangunan bumi secara berkelanjutan (world sustainable development). Bagaimana bila pasokan anak lebih kecil, tentu kemampuan mereka untuk mengelola bumi ini pun terbatas, kekurangan tenaga SDM.


Penulis:

Dr. Icol Dianto, S.Sos.I., M.Kom.I

Dosen tetap Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam.

Pegiat dan akademisi Dakwah Studies.

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syahada Padangsidimpuan


 

 

 

No comments:

Post a Comment