Tiga Standar Dalam Menulis Proposal Skripsi Mahasiswa - Icol Dianto

Featured Post

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN KOMUNIKASI DAN DAKWAH

TUGAS MATA KULIAH METODE PENELITIAN KOMUNIKASI DAN DAKWAH 1.     Membuat proposal tesis. Tugas mata kuliah ini adalah menulis proposa...

Tiga Standar Dalam Menulis Proposal Skripsi Mahasiswa

Share This

Tiga Standar Dalam Menulis Proposal Skripsi Mahasiswa


Penulis:

Dr. Icol Dianto, S.Sos.I., M.Kom.I

Dosen tetap Prodi Pengembangan Masyarakat Islam

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SYAHADA Padangsidimpuan

Pegiat dan akademisi Dakwah Studies

 

 


Standar adalah ukuran maksudnya ukuran yang dijadikan patokan atau pedoman untuk merencanakan, membuat, menilai suatu objek. Standar adalah syarat minimal yang harus ada pada suatu objek. Apabila suatu objek itu sudah dimodifikasi, yang dengan modifikasi itu tidak dapat lagi ditemukan keasliannya, maka objek itu tidak standar lagi.

Begitu pula halnya dengan proposal skripsi, apabila proposalnya sudah tidak mengikuti pedoman lagi (dimodifikasi), maka dapat dikategorikan bahwa proposalnya itu tidak sesuai standar. Lalu, muncul pertanyaan kita bahwa apa sih standar yang dimaksud? Inilah yang menjadi motivasi saya untuk menuliskan artikel sederhana ini, berikut ini penjelasannya.

Dalam  penyusunan skripsi minimal ada tiga standar yang harus dipenuhi.  Pertama, apa standar penulisan? Kedua, apa standar teori yang digunakan? Terakhir, apa standar metode yang dipakai oleh mahasiswa dalam menyusun proposal skripsi?

Pertama, standar penulisan. Menulis proposal skripsi tentu harus memenuhi standar penulisan yang sudah ditetapkan oleh lembaga/kampus. Ini biasa ada dalam pedoman penulisan skripsi mahasiswa baik pedoman itu digeneralisasi dari institut atau universitas maupun dispesifikasi (dioperasionalisasi) di setiap fakultas. Hal ini bisa saja, bahkan harus, ketika dokumen di tingkat institut atau universitas harus diturunkan lagi ke dalam bentuk pedoman penulisan skripsi tingkat fakultas.

Standar penulisan dalam buku pedoman penulisan proposal skripsi, tentu sudah terakomodir bagaimana menuliskan judul yang baik, menuliskan latar belakang yang relevan, dapat diidentifikasikan masalahnya, jelas rumusan dan batasan masalah, dan seterusnya. Bahkan, standar penulisan ini juga diharuskan runut dan lengkap unsur serta sub unsur dalam sebuah proposal skripsi.

Namun, standar penulisan yang perlu diperhatikan adalah standar penulisan latar belakang yang harus memenuhi teknik piramida terbaik. Menulis dengan teknik piramida terbalik dimulai dari pernyataan umum terkait dengan tema riset yang dipilih penulis. Kemudian, latar belakang masalah itu terus mengerucut menuju fokus riset. Jangan seperti “gitar spanyol”. Bagian bidak not gitar bisa disebut fokus dan mengerucut, tapi gemuk di bagian bawah. Artinya, latar belakang yang semula ditulis fokus tetapi malah “ngambang” di bagian akhirnya. Alhasil, masalah tidak jelas dan tidak fokus.

Lain lagi, teknik penulisan yang dimulai dengan pernyataan umum, khusus, umum, khusus dan seterusnya. Ini teknik zig-zag, yang mana ketika penulis ingin menjelaskan fokus masalah tetapi malah melebar lagi (ngambang), dan itu terjadi secara berulang. Tentu saja penulisan ini juga tidak baik.

Untuk memandu supaya bentuk piramida terbalik dapat dijaga, maka diperlukan unsur-unsur apa saja yang ditulis pada latar belakang. Meskipun tidak ada aturan baku, namun beberapa akademisi metodologi penelitian biasa memulainya dengan pernyataan umum yang filosofis sebanyak satu paragraf, dan disusul oleh pernyataan yang konseptual agak dua paragraf.

Kemudian itu, penulisan dilanjutkan dengan menuliskan realitas empiris. Data awal yang bisa bersumber dari observasi awal, wawancara awal, dan/atau dokumentasi, biasa disebut studi pendahuluan. Saran saya untuk dokumentasi ini adalah dokumen Badan Pusat Statistik yang memang punya otoritas data kependudukan, dan data dari lembaga resmi lainnya.

Penyajian data awal ini sangat penting dalam penulisan latar belakang masalah. Hal ini memiliki tujuan untuk meyakinkan pembimbing dan penguji bahwa si peneliti benar-benar mengetahui di lokasi calon riset itu terdapat masalah. Peneliti tidak boleh menghakimi bahwa di lokasi calon riset tersebut ada masalah tanpa dibuktikan data. Sering ditemukan dalam proposal skripsi mahasiswa, bahwa telah terjadi “begini dan begitu” yang menyudutkan dan menyalahkan masyarakat. Namun, peneliti tidak memperkuat tudingan tersebut dengan referensi.

Penulisan latar belakang masalah dilanjutkan dengan paragraf yang menyuguhkan studi komparatif, maksudnya realitas atau masalah yang sudah disajikan dalam paragraf riset awal (observasi awal, wawancara awal, data awal) dibanding dengan laporan riset terdahulu yang relevan. Sampai di sini sudah makin terarah dalam pendahuluan tersebut. Perlu diingat bahwa penyajian data awal dalam riset awal atau studi pendahuluan ini tidaklah sama dengan menuliskan hasil riset. Oleh karena itu, riset pendahuluan itu hanya berisi masalah-masalah yang teridentifikasikan oleh peneliti. Demikian juga dengan penyajian riset terdahulu itu hanya menyajikan temuan-temuan riset yang mendukung temuan si penyusun proposal pada studi awal.

 Selanjutnya, penulisan latar belakang masalah disambung dengan pernyataan idealis dan teoretis agak satu paragraf saja. Terakhir, penulisan paragraf pemungkas yang biasa berisi pernyataan yang mempertegas kegelisahan akademis peneliti atau mahasiswa peneliti tersebut sehingga mendorong si mahasiswa untuk melakukan penelitian, seperti yang dituangkan dalam proposal skripsi tersebut.

Kedua, standar teori. Pengalaman saya yang baru “seumur jagung” membimbing dan menguji skripsi mahasiswa, saya menemukan bahwa sering mahasiswa tidak menggunakan teori. Mahasiswa hanya membuat definisi-definisi. Adapun teori yang dicantumkan dalam bab kedua, biasa diberi judul kajian pustaka dan/atau kerangka teoretis, berisi penyajian banyak variasi teori. Sebenarnya, mahasiswa tinggal satu langkah lagi, yaitu memilih satu teori yang dianggap paling relevan dengan topik penelitian. Mestinya penyajian pada bab kedua ini sebagai intro paragraf pengantar, variasi teori disampaikan sekitar satu atau dua paragraf, lalu dilanjutkan dengan paragraf penegasan yang berisi pemilihan teori tertentu dan alasan pemilihan teori tersebut. Bisa saja alasan pemilihan teori tertentu itu dalilnya adalah relevan dengan topik, lengkap indikatornya, dan mutakhir.

Beberapa peneliti kualitatif beragumen bahwa dalam menulis proposal riset kualitatif murni, teori tidak diperlukan. Namun, ini sebenarnya lebih tepat pada riset “grounded theory”. Sebenarnya, penulisan teori yang disoalkan bukan posisi teori. Akan tetapi, sekalipun kualitatif murni tidak penting untuk menuliskan teori bukan berarti teori tidak penting bagi riset kualitatif murni tersebut. Peneliti sebagai “human instrumen” yang memiliki bekal penguasaan terhadap teori. Jadi, teori-teori itu sudah dikuasai oleh si peneliti.

Dalam penelitian kualitatif, pemilihan teori ini penting untuk membantu penulis memahami realitas (data, fakta, dan temuan-temuan penelitian). Dengan teori itu pula yang menjadi patokan utama si penulis menganalisis temuan risetnya. Bagi mahasiswa calon sarjana, penelitiannya bukan untuk membuat teori, bukan mengembangkan teori, dan bukan menguji teori. Akan tetapi, riset mahasiswa untuk level sarjana, apalagi sarjana FDIK/FDK hanya untuk menggunakan teori. Dalam konteks menggunakan teori, kesimpulan mahasiswa bisa saja nanti mendukung atau berbeda dengan teori yang digunakan. Dalam hal berbeda antara temuan riset dengan teori yang digunakan, itu artinya bahwa teori yang digunakan tersebut tidak dapat digunakan secara generalisasi terutama pada realitas tertentu yang berbeda latar budaya, ekonomi, sosial, politik, pendidikan, ideologi, dst.

Standar teori ini harus diperhatikan oleh pembimbing dan penguji, terutama tentang teori apa, oleh siapa, dari sumber referensi apa. Utamakanlah menggunakan teori sesuai bidang ilmu mahasiswa karena sudah 3 hingga 4 tahun mereka kuliah bidang ilmu, sangat disayangkan tidak mampu menggunakan teori keilmuannya itu dalam tugas akhir mereka. Setelah itu, diperhatikan juga pencetus teori dan referensi yang memuat teori itu. Misal, si peneliti hendak menggunakan teori integrasi ilmu Prof. M. Amin Abdullah tetapi disitasi tertulis Dr. Icol Dianto. Berarti mahasiswa mengambil dari sumber sekunder. Meskipun Dr. Icol Dianto juga memiliki buku Integrasi Ilmu Dakwah dengan Sosialwork, yang dalam buku tersebut disajikan tentang integrasi ilmu gagasan Prof. M. Amin Abdullah.

Sebagai catatan tambahan saja, membuat dan mengembangkan teori memungkinkan untuk level pendidikan magister dan doktor. Apalagi untuk membantah teori, hanya bisa dilakukan oleh akademisi yang telah menyelesaikan pendidikan level Doktor yang telah profesor. Doktor yang telah profesor, digunakan dalam istilah ini, karena ada doktor yang masih asisten ahli, lektor, dan lektor kepala. Doktor yang paripurna adalah doktor yang telah mencapai level fungsional profesor. Sungguhpun begitu, beberapa perguruan tinggi telah mengarahkan temuan disertasinya untuk membantah teori. Kami di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sudah terbiasa diabstrak itu menyajikan temuan riset disertasi memuat pernyataan mendukung teori siapa, tidak sependapat dengan siapa, bahkan ada yang membantah Al-Ghazali, dan tokoh-tokoh besar yang sudah dikenal kepakarannya dalam “dunia persilatan” akademik. Meski begitu, ada juga profesor yang tidak setuju bahwa temuan disertasi tersebut membantah teori yang ditemukan oleh pakar sebelumnya.

Ketiga, standar metodologi. Saya tidak lagi panjang lebar menjelaskan standar metodologi ini. Hanya beberapa catatan saja yang dianggap penting. Biasanya memang menguji proposal skripsi, pembimbing dan penguji terkadang beranggapan bahwa metode ini tidak begitu penting. Paham yang seperti itulah menyebabkan banyaknya kesalahan dalam bidang metodologi penelitian.

Penamaan bab ketiga ini terdapat perbedaan, antara metode penelitian dan metodologi penelitian. Perbedaan ini yang dipedomani tetap saja gaya selingkung pedoman penulisan skripsi kampus masing-masing. Namun, satu hal yang perlu dipahami bahwa pada bagian bab metode penelitian atau metodologi penelitian ini sifatnya sudah operasional. Misalkan, jenis penelitian deskriptif, maka setelah menyampaikan secara singkat penelitian deskriptif itu apa, harus dioperasionalkan ke tema riset kita. Kita mendeskripsikan apa saja. Demikian juga dengan observasi dan wawancara, harus jelas 5W + 1 H, siapa yang diobservasi (who), apa saja yang diobservasi (what), dimana melakukan observasi (where), kapan melakukan observasi (when), mengapa itu diobservasi (why), dan bagaimana proses observasi (how). Begitulah seterusnya makna dari operasional tersebut, yang mana konsep-konsep penelitian dilengkapi dengan objeknya.

Kita kembali kepada maksud standar metode yang dimaksud, selain unsur dan sub unsur yang harus ada sebagaimana standar penulisan, misal jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan keabsahan data. Tidak kalah penting, standar yang saya maksud adalah standar referensi yang digunakan oleh mahasiswa. Mahasiswa cenderung asal mensitasi tanpa memperhatikan otoritatif keilmuan (kepakaran pengarang). Ya. Kalaupun pengarang tidak pakar, tentu si pengarang kan juga mengutip pakar lain. Maka, seharusnya mahasiswa mengutip pendapat pakar melalui pengarang, itu harus disebutkan secara jelas dalam tulisan. Singkat kata, penulisan metodologi penelitian harus merujuk buku-buku penelitian yang sudah digunakan oleh jumhur akademisi.

Pertanyaan mungkin muncul, kapan tiga standar ini sebaiknya diperiksa secara cermat? Jawabannya tentu dimulai dari mahasiswa. Pada saat mahasiswa menulis proposal skripsi, mereka dapat berkonsultasi dengan Penasehat Akademik (PA), dan pembimbing skripsi. Memang, beberapa kampus memiliki kebijakan yang memungkinkan mahasiswa sudah punya pembimbing sebelum proposal skripsinya dibuat, seperti kita di UIN SYAHADA ini. Bahkan sebenarnya, mahasiswa bisa berkonsultasi dengan dosen-dosen mereka dan teman sesama mahasiswa. Tentu saja yang berkewajiban untuk menjaga tiga standar tersebut adalah pembimbing skripsi, baik pembimbing 1 maupun pembimbing 2.

Di sisi lain, penguji adalah sebagai korektor terakhir yang akan menyorot keterpenuhan tiga standar tersebut. Penguji tidak perlu khawatir untuk mengkritisi proposal yang sudah lulus koreksi oleh pembimbing. Pada saat ujian berlangsung, maka apapun koreksi dari penguji harus dimaknai demi kualitas skripsi dan lulusan.

 

No comments:

Post a Comment