Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Aksi Sosial dalam Surah Al-Balad dan Implementasinya dalam Program Pengembangan Masyarakat

Pendahuluan

Aksi sosial merupakan gerakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sebagai bentuk protes dan propaganda atas kebijakan sosial. Aksi sosial menjadi salah satu dari tiga metode pengembangan masyarakat. Rothman menyebutkan bahwa pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga metode yaitu pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial. 

Pada dasarnya, aksi sosial merupakan aksi protes atas kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan sosial atau masyarakat lokal. Kemudian kajian tentang aksi sosial ini terus berkembang, sehingga muncul gerakan-gerakan sosial yang bertujuan untuk mengajak masyarakat membudayakan pola kehidupan yang baik dan sehat, seperti gotong royong, sumbangan bencana longsor, banjir, kebakaran dan lain-lain. Perkembangan itu menggeser pemahaman aksi sosial dalam pengembangan masyarakat itu tidak terbatas pada protes saja, melainkan juga sebagai bentuk gerakan kampanye/ propaganda sosial.  

Pada artikel ini, penulis mencoba menjelaskan aksi sosial yang ada dalam kitab suci al-Quran, kitab suci yang menjadi pedoman hidup, petunjuk (al- huda) dan rahmat bagi alam semesta. Khususnya aksi sosial yang terdapat dalam surah al- Balad, surah yang ke 90 dan terdapat dalam Juz 30. Surah al-Balad merupakan kategori surah makkiyah terdiri dari 20 ayat. Al-Balad berarti Negeri, yaitu Kota Mekah yang terdapat padanya Baitullah dan juga tempat dilahirkannya Nabi Muhammad Saw. Kandungan dalam surah al-Bilad disebutkan bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dan akan selalu mengawasi perbuatan-perbuatannya. Apakah manusia itu akan menempuh jalan yang benar atau jalan yang salah. Di antara jalan yang benar itu dalam surah al-Balad disebut dengan falaqtahamal ‘aqabah artinya jalan mendaki yang sukar, yakni membebaskan hamba sahaya dari sistem perbudakan, memberi makan saat bencana kelaparan menimpa anak yatim, karib kerabat dan orang-orang miskin. 

Adapun aksi sosial yang dimaksud dalam Surah al-Balad ini, dapat diuraikan sebagai berikut: “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir”. 

Muhammad Quraisy Shihab dalam tafsir al-Mishbah menuliskan bahwa Ibnu Umar menjelaskan kata ‘aqabah sehubungan dengan makna firman-Nya “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit (Al-Balad: 11)” maksudnya yaitu nama sebuah gunung di dalam neraka Jahanam. Dengan demikian, berarti huruf lam pada falaqtahamal’aqabah bukan lam nafi, melainkan lam taukid sehingga makna ayat tersebut berbunyi, “Maka sesungguhnya manusia itu akan menempuh jalan yang sulit lagi mendaki”.  

Adapun aksi sosial yang penulis maksud dalam artikel ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Membebaskan hamba Sahaya dari sistem perbudakan  

 

Budak adalah hamba yang tergadaikan, tidak memiliki hak-hak independen, tidak merdeka dan hidupnya bergantung pada yang lain. Perbudakan terjadi pada masa para nabi dan rasul serta pratek yang menyerupai perbudakan itu terjadi beberapa abad usai zaman khulafaurrasyidin. Tugas para nabi dan rasul Allah, salah satunya adalah menghapus perbudakan, termasuk tugas Nabi Muhammad Saw. 
Perbudakan di era keterbukaan (demokrasi) ini tidak ditemukan lagi, namun ia muncul dengan berbagai bentuk di antaranya pembantu rumah tangga, asisten rumah tangga, dan tenaga buruh outsourching. Pekerjaan yang dibayar dengan upah dibawah standar hidup dan tidak adanya jaminan untuk keberlanjutan kerja, adalah bentuk dari sistem perbudakan modern. Aksi untuk memprotes kebijakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum bagi buruh selalu bergulir setiap peringatan hari buruh internasional (mayday, 1 Juni). Alhasil, dengan adanya aksi sosial tersebut, beberapa buruh sudah mendapatkan upah yang lebih baik dengan sistem jaminan kerja yang lebih baik. Akan tetapi, belum meratanya kebijakan pemerintah terhadap semua buruh tentu saja masih ditemukan. Hal ini akan terus menimbulkan ketimpangan-ketimpangan. 
 
Pada sisi lain, pemerintah mesti menghapuskan kerja paruh waktu, outsourching, dan asisten rumah tangga yang digaji dan diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk menghapuskan system perbudakan modern tersebut, dengan mengeluarkan kebijakan, aturan perundang-undangan yang melarang segala bentuk perbudakan modern. 
 
Tentu saja semua kondisi yang dijelaskan di atas tidak terjadi begitu saja. Pada umumnya, kebijakan dan program yang tidak menimbulkan gejolak maka dianggap tidak bermasalah. Termasuk tenaga honor, outsourching, pembantu rumah tangga, sepanjang dari pelaku pekerjaan tidak memunculkan protes maka dianggap hal itu tidak ada masalah. Akan tetapi, semua perilaku perbudakan modern itu masalah, hanya saja pekerja tidak memiliki nyali yang cukup untuk menyuarakan aspirasi mereka. Hal ini dikarenakan dua faktor, yaitu pertama, takut kehilangan pekerjaan sementara kebutuhan tidak dapat ditunda meski satu hari saja, kedua, sulitnya lapangan kerja dan tingginya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan.
 
Menanggapi kondisi dilematis tersebut, maka sudah seharusnya muncul kesadaran kolektif umat Islam untuk tidak menerapkan bentuk-bentuk sistem perbudakan modern tersebut. Kalaupun telah terlanjur menerapkan sistem tersebut, maka perbaikilah dengan memberikan upah yang layak, pekerjaan yang wajar, dan sistem jaminan sosial lainnya. Ketidakberdayaan pekerja yang terjebak dengan sistem perbudakan modern ini, dapat dibantu oleh aktivis-aktivis sosial untuk mempropagandakan atau mengkampanyekan kepada pihak pemerintah dan swasta. Tidak ada salahnya para aktivis sosial melakukan aksi bersama dengan dengan pekerja yang menjadi korban dari sistem perbudakan modern ini sampai pengambil kebijakan benar-benar berpihak kepada kepentingan masyarakat ekonomi rendah.

Memberi makan saat dilanda bencana kepalaparan

 
Memberi makan fakir miskin merupakan perintah agama yang sering disampaikan dalam al-Quran. Dengan tegas dikatakan bahwa mereka yang mengaku beragama Islam tetapi tidak mau memberi makan kepada kelompok fakir miskin digolongkan kepada orang-orang yang mendustakan agama (QS. Al-Ma’un). Bahkan keenganan memberi makan fakir miskin dapat mempersempit pintu rezeki (QS. Al-Fajr).  
 
Fenomena santunan kepada masyarakat fakir dan miskin ini tidak asing lagi bagi umat Islam. Kepedulian kepada mereka kelompok dhuafa mendorong umat mendirikan lembaga dan yayasan pendidikan gratis, dan rumah panti.  
 
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang ada dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) dengan boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya setan dan sesungguhnya setan itu sangat ingkar kepada tuhannya.” (QS. Al Isra: 26-27). 
 
Pada ayat di atas Allah Ta’ala memerintahkan kepada umat manusia untuk berbakti kepada orang tua dan juga harus berbakti kepada golongan yang lain, yaitu kepada kaum kerabat, kepada orang miskin dan kepada orang terlantar dalam perjalanan.  
 
Pemahaman masyarakat pada umumnya, jika konteks amal sholeh; infak dan sedekah, maka diberikan kepada fakir, miskin dan anak yatim yang tidak memiliki kerabat dengan mereka. Ada umat Islam yang memilih memberikan infak dan sedekahnya kepada orang lain daripada diberikan kepada keluarga, hubungan famili, dan kerabat. Tidak heran kita mendengar ada orang kaya yang mengeluarkan sumbangan dalam berbagai bentuk dan jumlah yang besar, sementara kerabat mereka abaikan begitu saja. Mereka yang memiliki anggapan bahwa infak dan sedekah mesti diberikan kepada orang lain, terkadang mereka pelit sama pihak orang tua, saudara dan kerabat mereka. Anggapan itu tidaklah dibenarkan Islam, mestinya pemahaman umat diluruskan. Meski demikian, islam tidak membatasi pemeluknya hanya mementingkan urusan keluarga dan kerabat saja dan mengabaikan masyarakat umum. Akan tetapi, Islam menginginkan pemeluknya memperhatikan kondisi sosial yang ada di lingkungan sekitarnya yang dimulai dari lingkungan terdekat sampai lingkungan terjauh. Sebelum menyumbangkan harta untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, perhatikan dulu kondisi ekonomi dan sosial kerabatmu. 
 
Pantaslah menyantuni kerabat terdekat itu masuk dalam kondisi yang disebut al-Quran dengan istilah ‘aqabah (jalan yang sulit lagi sukar). Fenomena yang ada di masyarakat, sering terjadi perselisihan, pertikaian dan bahkan pembunuhan antara orang-orang yang memiliki ikatan famili dan kerabat. Persaingan dalam penguasaan kekayaan warisan, dan sumber harta lainnya telah jadi tontonan televisi, persidangan dan publik. Hal ini didorong oleh rasa iri dan dengki yang dihembuskan oleh syaithan kepada manusia untuk saling bermusuhan dan menumpahkan darah di bumi. Padahal pada harta kita itu ada hak-hak orang lain di dalamnya, termasuk haknya karib kerabat.  
 
Dalam kondisi yang demikian, perlu ada gerakan atau aksi sosial yang terlembaga dan terorganisir dengan baik. Ada dua bentuk aksi yang ditawarkan dalam tulisan ini yaitu aksi sosial untuk kelompok kerabat dan untuk non kerabat. Setiap masyarakat memiliki budaya tersendiri yang dapat digunakan sebagai wadah untuk menghimpun infak dan sedekah dari internal kaum/sukunya. Misalkan saja masyarakat Minangkabau, memiliki rumah gadang untuk menghimpun semua anggota sukunya dan tentu saja suku-suku lain di Indonesia memiliki adat tersendiri (kearifan lokal). Infak dan sedekah untuk kerabat itu sifatnya sensitif, maka perlu dibedakan dengan lembaga yang akan menangani permasalahan kemiskinan yang objeknya non kerabat. Mesti dicari suatu kearifan sehingga kesan yang dibangun tidaklah merendahkan atau meremehkan kerabat sendiri. Oleh karena itu, simbol-simbol adat merupakan alternatif yang tepat untuk permasalahan itu. 
 
Berbeda dengan penanganan dana karitas untuk non kerabat, maka dengan membentuk lembaga atau yayasan sangatlah tepat. Dengan adanya lembaga atau yayasan yang memiliki leadership, strategi, program, sehingga jelas arah dan tujuannya dan tepat sasarannya. Ada banyak pendapat orang bahwa memberi di persimpangan jalan tidaklah mengapa asal ikhlas. Dari segi amal, betul infak dan sedekah tetap ada pahalanya. Akan tetapi kaitannya dengan anggota sosial lainnya menimbulkan permasalahan baru, seperti terganggunya arus lalu lintas dan bad image bagi sebuah kota/daerah. Di sisi lain, ternyata pengemis dan anak jalanan yang meminta-minta di perempatan jalan, ada yang memiliki rumah mewa dan mobil pribadi. Bahkan hal kita anggap remeh dan tidaklah mengapa memberi infak bagi mereka yang diperempatan lampu merah itu, ternyata menjadi profesi bagi pihak tertentu untuk mendulang keuntungan. Mereka memperkerjakan anak-anak, dan orang jompo untuk meminta-minta sedangkan hasilnya mereka yang menikmatinya. Oleh karena itu, infak dan sedekah umat Islam mesti disalurkan kepada lembaga yang terorganisir sehingga kekuatan umatpun dapat dibangun oleh aksi sosial yang terpimpin dengan baik itu. ***

Artikel ini diterbitkan pada Bulletin Al-Irsyad Volume 4 Nomor 2 Tahun 2018

Silahkan download di sini: AKSI SOSIAL DALAM SURAH AL-BALAD DAN IMPLEMENTASINYA  DALAM PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Post a Comment

0 Comments